Ternyata, ada beberapa orang kalau mendengar kata Arab, gambaran
yang melayang-layang di pikirannya antara lain, lelakinya berpakaian
jubah putih, berjenggot panjang, dan perempuannya memakai jilbab,
bahkan bercadar, serta bentuk hidungnya mancung. Itu gambaran fisik
yang muncul. Selain itu, kalau disebut kata Arab, kesan yang hinggap di
angan-angan orang tersebut adalah beragama Islam dan taat, pandai
mengaji al-Qur’an, dan keturunan Nabi.
Suatu saat, ada
orang yang heran terkaget-kaget melihat orang, sebagaimana ciri-ciri
fisik orang Arab di atas, masuk lift sebuah hotel bersama seorang
perempuan berpakaian you can see, bercelana jeans ketat,
menenteng tas kulit berwarna coklat. Padahal, bisa saja orang itu
kebetulan masuk lift yang sama. “Bukan itu masalahnya, bos. Saya kenal siapa perempuan yang masuk dengan orang itu. Apalagi, waktu itu, si perempuan itu memberi kode mata kepada saya, kalau dia di-booking orang Arab itu,” kata orang itu.
Mendengar
ungkapan teman tadi, saya juga jadi heran kepada dia. Kenapa dia jadi
heran menemukan fakta sosial seperti itu. Akhirnya, saya tahu
masalahnya. Rupanya, hubungan antara orang Arab dengan Islam hampir
pasti tidak bisa dipisahkan. Fakta ini, bisa juga dilihat dengan fakta
lain. Misalnya, kalau ada seseorang mempunyai nama yang berbahasa Arab,
banyak orang mengira, orang itu beragama Islam. Sama halnya ada orang
yang ingin disebut ”Islam” atau ”islami”, orang tersebut memilih
menggunakan istilah dari bahasa Arab.
”Mas, jangan pakai
nama ’Yayasan Pendidikan Masyarakat’-lah. Pakai nama ’Yayasan
Tarbiyatul Ummah’ atau apalah yang lebih islami begitu. Kita ini ’kan
ingin menyiarkan Islam. Masa, pakai nama yang tidak Islam,” begitulah
kira-kira salah satu ungkapan yang pernah muncul. Atau, kalau ada orang
Islam, yang mengerti bahasa Arab, berbahagia karena dikaruniai anak,
kira-kira pilihan nama yang dijajarkan antara lain, Musthafa Kamil
daripada Jaka Sampurna, Nurul Badriyah daripada Cahya Purnama. Karena,
yang tidak berbahasa arab dianggap tidak Islam. Padahal, artinya sama,
maksudnya sama, dan kandungan maknanya sama.
”Bos, saya
tidak setuju kalau anda membandingkan makna dari bahasa Indonesia
dengan bahasa Arab. Jelas-jelas beda jauh. Kedalaman makna yang
terkandung dalam bahasa Arab itu luar biasa filosofisnya. Jangan asal
disamakan saja. Terbukti, Allah SWT memilih bahasa Arab untuk mengemas
wahyu-wahyu-Nya. Karena apa? Karena bahasa Arab itu luar biasa, bos,”
sanggah seorang teman di samping saya dan mengambil posisi menghadap
saya.
Sambil menyalakan rokok, saya menyimak ucapan
tersebut. Dan sambil mengingat-ingat ayat al-Qur’an yang pernah ada,
saya memahami sanggahan teman saya tersebut. Memang, ada terjemahan
bait ayat al-Qur’an yang menyatakan adanya penggunaan bahasa Arab. Di
antara bunyi terjemahan tersebut adalah, ”Sesungguhnya Kami menjadikan
Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamumemahami (nya).” Ada juga
terjemahan yang berbunyi, ”Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni
bacaan dalam bahasa Arab,untuk kaum yang mengetahui.” Namun, ada juga
terjemahan ayat al-Qur’an yang berbunyi, ”Dan tidaklah kami mengutus
seorang Rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar ia memberi
penjelasan kepada mereka.”
Setidaknya, dengan mengingat
ketiga ayat itu, saya jadi tidak paham dengan sanggahan teman saya
tadi. Apa hubungan antara bahasa Arab dengan Islam atau islami
tersebut? Apalagi urusan nama. Lagi pula, urusan filosofi suatu bahasa
itu urusan budaya masing-masing. Misalnya, kalau kata sandal dikandungi
makna filosofis yang ”dalam” juga bisa. Di sini, kita harus belajar
kepada para sastrawan, khususnya penyair. Kata sandal bisa dimaknai
sebagai alas kehidupan, bukan sekadar kaki seseorang. Atau kata celana
dalam sajak Joko Pinurbo yang berjudul Puasa.
Puasa
(kepada penyair Haspahani)
Saya
sedang mencuci celana yang pernah saya pakai untuk mencekik leher saya
sendiri. Saya sedang mencuci kata-kata dengan airmata yang saya tabung
setiap hari. Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan selamat
menunaikan ibadah puisi.
(2007)
Jelas,
kata celana ini mempunyai makna dan filosofis yang berbeda dalam
bahasa sehari-hari kita. Karena, tidak mungkin kita memaknakan kata
’celana’ dalam konteks ’puasa’ ini dikaitkan dengan celana yang kita
pakai sehari-hari. Artinya, urusan bahasa adalah urusan kebudayaan yang
dikembangkan oleh pemilik budaya itu sendiri. Dan tentu saja,
masing-masing kelompok budaya tersebut mempunyai ukuran yang berbeda
satu sama lain, sehingga satu sama lain tidak bisa men-judge suatu
budaya kelompok lain itu baik atau buruk. Karena penilaian tersebut
tidak lain karena melihat dari kacamata yang berbeda.
Ya, saya
pun mengerti ada hadits Nabi Muhammad yang menyatakan, “Sesungguhnya
kamu sekalian akan diseru/dipanggil pada hari Kiamat dengan nama-nama
kamu dan nama-nama bapak kamu. Oleh demikian, elokkanlah nama-nama yang
kamu berikan”. (Riwayat Imam Abu Daud dari Abu Dardak r.a.), ada juga
hadits yang berbunyi, “Sesungguhnya sehina-hina/seburuk-buruk nama di
sisi Allah ialah seorang lelaki yang bernama Rajanya Para Raja (Malik al-Amlak)”.
(Riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a.). Dalam riwayat yang
lain, baginda bersabda; “Lelaki yang paling dimukai oleh Allah pada
hari kiamat dan paling hina ialah lelaki yang diberi nama Malikul-Amlak (karena hakikatnya) tiada raja melainkan Allah”. (Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a.).
Mari,
kita perhatikan terjemahan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits
Rasulullah di atas, adakah kaitan antara nama berbahasa Arab dengan
Islam? Karena Arab bukan Islam dan Islam bukan Arab. Islam adalah
ajaran, Arab adalah identitas budaya. Maka, jangan heran, ada orang
Arab, atau ada nama orang atau sesuatu yang berbahasa Arab, tetapi tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Karena Arab dan Islam memang beda.
”Bos,
ini bahaya. Bos sudah memisahkan Arab dengan Islam. Ini jelas-jelas
menyesatkan. Bos bisa dianggap keluar dari Islam, bos bisa masuk
neraka!!! Istighfar, bos!”
Sambil menyalakan rokok
kembali yang telah habis dan manggut-manggut merenungkan peringatan
teman saya, saya hanya berpikir, apakah teman saya ini sudah langsung
kontak kepada Allah SWT? Setahu saya, yang tahu keimanan seseorang,
yang tahu seseorang akan di tempatkan di sorga atau neraka, dan
seandainya saya salah atau benar dalam hal ini hanyalah Allah SWT yang
tahu. Subhanallah, astaghfirullah, ya Allah, kalau
pun saya salah mungkin hanya itu pengetahuan dan pemahaman saya tentang
Islam atau memang saya sedang mengalammi kekerasan intelektual,yang
menyebabkan cidera mental dan kemiringan pemikiran. Untuk itu,
berilah tambahan pengetahuan dan pemahaman yang Engkau ridlai, ya
Allah.Karena ajaran-Mu pasti tak pernah berubah,yang berubah adalah
pemahaman kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar