Jumat, 27 Juli 2012

Arab Dan Islam

Ternyata, ada beberapa orang kalau mendengar kata Arab, gambaran yang melayang-layang di pikirannya antara lain, lelakinya berpakaian jubah putih, berjenggot panjang, dan perempuannya memakai jilbab, bahkan bercadar, serta bentuk hidungnya mancung. Itu gambaran fisik yang muncul. Selain itu, kalau disebut kata Arab, kesan yang hinggap di angan-angan orang tersebut adalah beragama Islam dan taat, pandai mengaji al-Qur’an, dan keturunan Nabi.

Suatu saat, ada orang yang heran terkaget-kaget melihat orang, sebagaimana ciri-ciri fisik orang Arab di atas, masuk lift sebuah hotel bersama seorang perempuan berpakaian you can see, bercelana jeans ketat, menenteng tas kulit berwarna coklat. Padahal, bisa saja orang itu kebetulan masuk lift yang sama. “Bukan itu masalahnya, bos. Saya kenal siapa perempuan yang masuk dengan orang itu. Apalagi, waktu itu, si perempuan itu memberi kode mata kepada saya, kalau dia di-booking orang Arab itu,” kata  orang itu.

Mendengar ungkapan teman tadi, saya juga jadi heran kepada dia. Kenapa dia jadi heran menemukan fakta sosial seperti itu. Akhirnya, saya tahu masalahnya. Rupanya, hubungan antara orang Arab dengan Islam hampir pasti tidak bisa dipisahkan. Fakta ini, bisa juga dilihat dengan fakta lain. Misalnya, kalau ada seseorang mempunyai nama yang berbahasa Arab, banyak orang mengira, orang itu beragama Islam. Sama halnya ada orang yang ingin disebut ”Islam” atau ”islami”, orang tersebut memilih menggunakan istilah dari bahasa Arab.

”Mas, jangan pakai nama ’Yayasan Pendidikan Masyarakat’-lah. Pakai nama ’Yayasan Tarbiyatul Ummah’ atau apalah yang lebih islami begitu. Kita ini ’kan ingin menyiarkan Islam. Masa, pakai nama yang tidak Islam,” begitulah kira-kira salah satu ungkapan yang pernah muncul. Atau, kalau ada orang Islam, yang mengerti bahasa Arab, berbahagia karena dikaruniai anak, kira-kira pilihan nama yang dijajarkan antara lain, Musthafa Kamil daripada Jaka Sampurna, Nurul Badriyah daripada Cahya Purnama. Karena, yang tidak berbahasa arab dianggap tidak Islam. Padahal, artinya sama, maksudnya sama, dan kandungan maknanya sama.

”Bos, saya tidak setuju kalau anda membandingkan makna dari bahasa Indonesia dengan bahasa Arab. Jelas-jelas beda jauh. Kedalaman makna yang terkandung dalam bahasa Arab itu luar biasa filosofisnya. Jangan asal disamakan saja. Terbukti, Allah SWT memilih bahasa Arab untuk mengemas wahyu-wahyu-Nya. Karena apa? Karena bahasa Arab itu luar biasa, bos,” sanggah seorang teman di samping saya dan mengambil posisi menghadap saya.

Sambil menyalakan rokok, saya menyimak ucapan tersebut. Dan sambil mengingat-ingat ayat al-Qur’an yang pernah ada, saya memahami sanggahan teman saya tersebut. Memang, ada terjemahan bait ayat al-Qur’an yang menyatakan adanya penggunaan bahasa Arab. Di antara bunyi terjemahan tersebut adalah, ”Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamumemahami (nya).” Ada juga terjemahan yang berbunyi, ”Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab,untuk kaum yang mengetahui.” Namun, ada juga terjemahan ayat al-Qur’an yang berbunyi, ”Dan tidaklah kami mengutus seorang Rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar ia memberi penjelasan kepada mereka.”

Setidaknya, dengan mengingat ketiga ayat itu, saya jadi tidak paham dengan sanggahan teman saya tadi. Apa hubungan antara bahasa Arab dengan Islam atau islami tersebut? Apalagi urusan nama. Lagi pula, urusan filosofi suatu bahasa itu urusan budaya masing-masing. Misalnya, kalau kata sandal dikandungi makna filosofis yang ”dalam” juga bisa. Di sini, kita harus belajar kepada para sastrawan, khususnya penyair. Kata sandal bisa dimaknai sebagai alas kehidupan, bukan sekadar kaki seseorang. Atau kata celana dalam sajak Joko Pinurbo yang berjudul Puasa.
Puasa 
(kepada penyair Haspahani) 
Saya sedang mencuci celana yang pernah saya pakai untuk mencekik leher saya sendiri. Saya sedang mencuci kata-kata dengan airmata yang saya tabung setiap hari. Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puisi.
(2007)

Jelas, kata celana ini mempunyai makna dan filosofis yang berbeda dalam bahasa sehari-hari kita. Karena, tidak mungkin kita memaknakan kata ’celana’ dalam konteks ’puasa’ ini dikaitkan dengan celana yang kita pakai sehari-hari. Artinya, urusan bahasa adalah urusan kebudayaan yang dikembangkan oleh pemilik budaya itu sendiri. Dan tentu saja, masing-masing kelompok budaya tersebut mempunyai ukuran yang berbeda satu sama lain, sehingga satu sama lain tidak bisa men-judge suatu budaya kelompok lain itu baik atau buruk. Karena penilaian tersebut tidak lain karena melihat dari kacamata yang berbeda.
Ya, saya pun mengerti ada hadits Nabi Muhammad yang menyatakan, “Sesungguhnya kamu sekalian akan diseru/dipanggil pada hari Kiamat dengan nama-nama kamu dan nama-nama bapak kamu. Oleh demikian, elokkanlah nama-nama yang kamu berikan”. (Riwayat Imam Abu Daud dari Abu Dardak r.a.), ada juga hadits yang berbunyi, “Sesungguhnya sehina-hina/seburuk-buruk nama di sisi Allah ialah seorang lelaki yang bernama Rajanya Para Raja (Malik al-Amlak)”. (Riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a.). Dalam riwayat yang lain, baginda bersabda; “Lelaki yang paling dimukai oleh Allah pada hari kiamat dan paling hina ialah lelaki yang diberi nama Malikul-Amlak (karena hakikatnya) tiada raja melainkan Allah”. (Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a.).

Mari, kita perhatikan terjemahan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah di atas, adakah kaitan antara nama berbahasa Arab dengan Islam? Karena Arab bukan Islam dan Islam bukan Arab. Islam adalah ajaran, Arab adalah identitas budaya. Maka, jangan heran, ada orang Arab, atau ada nama orang atau sesuatu yang berbahasa Arab, tetapi tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena Arab dan Islam memang beda.

”Bos, ini bahaya. Bos sudah memisahkan Arab dengan Islam. Ini jelas-jelas menyesatkan. Bos bisa dianggap keluar dari Islam, bos bisa masuk neraka!!! Istighfar, bos!”

Sambil menyalakan rokok kembali yang telah habis dan manggut-manggut merenungkan peringatan teman saya, saya hanya berpikir, apakah teman saya ini sudah langsung kontak kepada Allah SWT? Setahu saya, yang tahu keimanan seseorang, yang tahu seseorang akan di tempatkan di sorga atau neraka, dan seandainya saya salah atau benar dalam hal ini hanyalah Allah SWT yang tahu. Subhanallah, astaghfirullah, ya Allah, kalau pun saya salah mungkin hanya itu pengetahuan dan pemahaman saya tentang Islam atau memang saya sedang mengalammi kekerasan intelektual,yang menyebabkan cidera mental dan kemiringan pemikiran. Untuk itu, berilah tambahan pengetahuan dan pemahaman yang Engkau ridlai, ya Allah.Karena ajaran-Mu pasti tak pernah berubah,yang berubah adalah pemahaman kami.

Kamis, 03 Mei 2012

TENTANG MUHAMMAD

Kepada Umat Nabi Muhammad,Perhatian!Nabi Muhammad bukan blogger,bukan facebooker,maka mohon untuk tidak usah mencari-cari akun Facebook nya atau Blog pribadi beliau.Kalau mau PDKT cukup perbanyak baca Sholawat dan persedikit maksiat.xxixixixixi

Bro,kadang kita berfikir romantis tentang kehidupan Nabi Muhammad,juga tentang tata pemerintahan Negara-Kota yang konon beliau bangun dengan para sahabatnya.Orang membayangkan kehidupan di masa itu serba teratur aman dan tentram.Orang yang punya masalah seabrek dan serumit apapun tinggal sowan ke Nabi,then "avada kadavra",problem solved!.Menurut saya,menurut saya itu pemikiran yang katro.

Nabi Muhammad adalah analogi manusia yang penuh masalah sejak lahir hingga wafat.Kehidupan beliau adalah sebuah kisah "PEJUANGAN",bukan sebuah kisah "ONGKANGONGKANGKAKITINGGALTUNGGUBANTUANDARILANGIT".Beliau yatim sejak di kandungan,piatu saat masih balita,angngon wedhus saat ikut kakeknya,belajar berdagang saat ikut Paman,menyepi mencari-cari kebenaran sejati dan hakiki saat beristrikan Khadijah.Dimusuhi keluarga,Pak RT,Pak Camat dan para Sastrawan saat mengumumkan Kenabiannya,disakiti lahir batin,"diusir" dari Kota Kelahiran tercinta,berperang puluhan kali dalam kurun waktu 20 tahun masa akhir kehidupannya,di curhati umat setiap hari,baik oleh kalangan manusia,Jin,tumbuhan maupun Binatang

Gimana Bro,keren banget kan Kanjeng Nabi itu!!

ISLAM KASET DAN KEBISINGANNYA



SUARA bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. Rock ataupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai.

Kalaupun ada unsur keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. Sekian buah baladanya Trio Bimbo, atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja. Sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya.

Tetapi ternyata ada “persembahan” berirama, yang menampilkan suara lantang. Bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan: berjenis-jenis seruan untuk beribadat, dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau.

Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Quran dalam volume yang diatur setinggi mungkin. Barangkali saja agar lebih “terasa” akibatnya: kalau sudah tidak dapat terus tidur karena hiruk-pikuk itu, bukankah memang lebih baik bangun, mengambil air sembahyang dan langsung ke masjid?

Bacaan Al Quran, tarhim dan sederet pengumuman, muncul dari keinginan menginsafkan kaum musilimin agar berperilaku keagamaan lebih baik. Bukankah shalat subuh adalah kewajiban? Bukankah kalau dibiarkan tidur orang lalu meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban termasuk dosa? Bukankah membiarkan dosa berlangsung tanpa koreksi adalah dosa juga? Kalau memang suara lantang yang mengganggu tidur itu tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar ma’ruf), bukankah minimal ia berfungsi mencegah kesalahan(nahi munkar)?

Sepintas lalu memang dapat diterima argumentasi skolastik seperti itu. Ia bertolak dari beberapa dasar yang sudah diterima sebagai kebenaran: kewajiban bersembahyang, kewajiban menegur kesalahan dan menyerukan kebaikan. Kalau ada yang berkeberatan, tentu orang itu tidak mengerti kebenaran agama. Atau justru mungkin meragukan kebenaran Islam? Undang-undang negara tidak melarang. Perintah agama justru menjadi motifnya. Apa lagi yang harus dipersoalkan? Kebutuhan manusiawi bagaimanapun harus mengalah kepada kebenaran Ilahi. Padahal, mempersoalkan hal itu se benarnya juga menyangkut masalah agama sendiri.

Mengapa diganggu?

Nabi Muhammad mengatakan, kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yan tidur (hingga bangun). Selama ia masih tidur, seseorang tidak terbebani kewajiban apa pun. Allah sendiri telah menyedia kan “mekanisme” pengaturan bangun dan tidurnya manusia. dalam bentuk metabolisme badan kita sendiri.

Jadi tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang – keculai ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan nama ‘illat. Ada kiai yang menotok pintu tiap kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan keiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih di bawah tanggung jawabnya. Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada ‘illat: bukankah sang suami harus menjadi teladan anak-anak dan istrinya di lingkungan rumah tangganya sendiri?

Tetapi ‘illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, jangan sampai tersentak. Wanita yang haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Juga anak-anak yang belum akil baligh (atau tamyiz, sekitar umur tujuh delapan tahunan, menurut sebagian ahli fiqh mazhab Syafi’i).

Tidak bergunalah rasanya memperpanjang illustrasi seperti itu: akal sehat cukup sebagai landasan peninjauan kembali “kebijaksanaan” suara lantang di tengah malam — apalagi kalau didahului tarhim dan bacaan Al Quran yang berkepanjangan. Apalagi, kalau teknologi seruan bersuara lantang di alam buta itu hanya menggunakan kaset! Sedang pengurus masjidnya sendiri tenteram tidur di rumah.

Jumat, 27 April 2012

FUNDAMENTAL DAN LIBERAL DALAM ISLAM



Kesejatian manusia mencakup sebuah perspektif yang sangat sederhana, yaitu menyederhanakan segala sesuatu dan bermuara pada absolutisme. Segala bentuk fenomena, baik memiliki kompleksitas maupun tidak, lebih mudah memang apabila disederhanakan secara dikotomis. Perspektif dikotomi memudahkan manusia untuk memahami dan mengambil sikap menghadapi suatu fenomena. Dalam Islam, ada dikotomi yang meruang antara Islam Fundamental dan Islam Liberal. Dua kelompok ini berbeda satu sama lain dan acapkali menjumpai friksi yang bersifat konseptual maupun aplikatif. Bahkan friksi di antara keduanya, beberapa kali bersifat terbuka dan dapat dengan mudah dapat ditangkap oleh publik di luar mereka. Amien Rais dalam pengantar buku Islam Otentisitas Liberalisme karya Dr. David Sagiv, mengatakan bahwa friksi antara Islam Fundamental dan Islam Liberal tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di mayoritas negara berpenduduk muslim. Di antaranya adalah Mesir, al-ghazwul al-fikr (inovasi ideologi) yang datang ke dunia Islam menumpang kafilah kolonialisasi dan imperialisme Barat memicu respon dari para ulama Islam yang ingin mempertahankan identitas dan kelangsungan hidup Islam sebagai paradigma. Respon ini cenderung beragam. Mesir adalah cerminan ideal friksi di antara Islam Fundamental dan Islam Liberal. Alasannya adalah; pertama, Mesir memiliki Cairo yang merupakan center of excellence dunia Islam. Keberadaan Universitas Al-Azhar, universitas yang berdiri pertama kali pada masa Dinasti Fatimiyah, menjadikan Cairo sebagai kota yang sarat dengan ulama””-ulama”” genial. Kedua, intellectual welfare antara Barat dan Islam berlangsung sengit di media massa Mesir. Lalu, adakah friksi tersebut di Indonesia? Dalam Liberal Islam: A Sourcebook Charles Kurzman menyebut bahwa Islam Liberal di Indonesia ditandai dengan keberadaan adalah Jaringan Islam Liberal (JIL)/Ulil Abshar Abdalla serta Kelompok Paramadina/(alm) Nurcholis Madjid, Gus Dur, Azyumardi Azra, dan masih banyak lagi lainnya. Sedang Islam Fundamental/Radikal direprentasikan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)/Abu Bakar Baasyir, Irfan S. Awwas, Laskar Jihad/Jafar Umar Thalib, Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)/Hidayat Nur Wahid (M. Fajrul Munawir, 2005). Benarkah itu? Tentang valid ataukah tidak pendapat di atas, bukanlah sebuah fenomena yang harus dikaji dengan beragam rujukan dari masing-masing perspektif. Namun, ada baiknya kita lebih mengkaji latar belakang keberadaan Islam Fundamental dan Islam Liberal di Indonesia secara historis. Sejatinya, Islam fundamental tumbuh dan berkembang akibat perspektif ulama””-ulama”” mereka yang memandang Al-Quran dan Al-Hadist atau fiqih produk lama secara tekstual. Sebaliknya, Islam Liberal memandang urgensi penyegaran pemahaman secara kontekstual dan interteks terhadap Al-Quran dan Al-Hadist. Meskipun pengalaman adalah guru terbaik, namun guru dan lingkungan pendidikan juga memiliki andil besar dalam pembentukan individu secara holistic sebagai produk pembelajaran. Friksi antara fundamentalis dan liberalis dalam Islam dimulai dari perbedaan rujukan ilmu dan pengetahuan. Mayoritas tokoh-tokoh Islam Fundamental menikmati pendidikan Islam model Timur Tengah (Makkah, dsb). Hal ini berbeda dengan Islam Liberal yang mayoritas lulusan Barat (Chicago, Turki, dan Madinah), yang memiliki pola pengembangan proses berpikir cenderung rasionalis ala Barat. Paradigma berpikir tokoh-tokoh Islam Fundamental lebih dititikberatkan pada nalar bayani (afektif, menghafal materi-literatis) dan cenderung mengabaikan nalar burhani (kognitif). Bahkan beberapa ulama”” Islam Fundamental menyebut penggunaan akal (rasio) dalam memahami dan mengkaji Al-Quran dan Al-Hadist tergolong sebagai bid””ah karena berpotensi menggeser upaya ””mencari kebenaran”” menjadi ””mencari pembenaran””. Berbeda dengan kaum Islam Liberal, mereka cenderung mengedepankan nalar burhani dalam memahami dan mengkaji Al-Quran dan Al-Hadist karena memiliki beragam aspek pendekatan dan metodologi yang ilmiah. Satu hal yang patut disyukuri, yaitu kedua kelompok ini memiliki tokoh-tokoh intelektual yang memberikan warna dalam geliat pembangunan dan perpolitikan di Indonesia. Bahkan, beberapa di antaranya ””bertengger”” di posisi vital decision maker pemerintahan, ormas Islam, bahkan parpol-parpol yang mambawa bendera relijius sebagai ideologi dasar.

Pesantren Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang lahir, tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan Islam di Indonesia. Di pesantren, santri sebagai entitas siswa di dalamnya, mendapatkan pengajaran nilai-nilai agama secara holistik. Beraneka ragam ilmu agama diajarkan di pesantren dalam format pembelajaran wetonan, sorogan, hafalan, ataupun muzakarah. Ada sinyalemen kebakuan ilmu yang diajarkan pada sebuah pesantren dari waktu ke waktu. Secara paradoks, fenomena ini berhadapan dengan realita perkembangan peradaban dunia, ilmu pengetahuan dan tekonologi berkembang seiring-sejalan dengan pertambahan usia dunia. Pola pendidikan dalam pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama”” (NU) telah menjembatani kutub nilai-nilai Islam dengan perkembangan peradaban dunia. Hal ini sejalan dengan doktrin NU sendiri yang menganut paham Ahlussunah Wal Jama””ah sebagai paradigma jalan tengah antara aqli (rasionalis) dengan naqli (skripturalis). Rujukan dalam NU tidak hanya Al-Quran dan Al-Hadist namun juga rasionalitas dan realitas empirik. NU berkiblat pada pondasi pemikiran Abu Hasan Al-Asy””ari Abu Mansur Al-Maturidi, Imam Syafi””i, Imam Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi. Harapannya, lulusan pesantren di masa mendatang dapat menjadi avant garde pembimbing pencerahan umat Islam. Sejalan dengan fungsi dan perannya sebagai kaum intelektual, yang dapat mengiringi pencerahan sejati umat manusia.

Islam; Rahmatan Lil Alamin Ada kecenderungan, betapa Islam sebagai agama dalam perkembangan terakhir hadir sebagai institusi yang mandul. Islam memang masih sakral, tapi tidak mujarab menjadi jawaban problematika kemanusiaan. Islam secara temporer menjadi obat penenang kegelisahan umat, yang mana menempatkan ibadah sebagai identitas kulit semata. Fundamental ataupun Liberal seringkali hanya menjadi dikotomi nir konten yang cenderung membingungkan umat Islam sendiri. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Karl Marx ketika berkata “agama adalah candu masyarakat” (opium of society). Bagi Marx, agama membuat manusia hidup dalam absurditas imajinasi, semacam eskapisme dan menjadi jawaban tunggal ketika seorang individu ingin meraih keselamatan eskatalogis. Ketika agama ditarik ke lingkaran kekuasaan, agama menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan tertentu. Apabila kekuasaan memutuskan perang, maka agama wajib hukumnya untuk melegitimasi keputusan tersebut. Fungsi agama sebagai media kritisisme menjadi hilang di hadapan negara (kekuasaan). Agama tidak lagi menjadi media pembebasan, melainkan menjadi alat legitimasi negara untuk melakukan penindasan terhadap warganya. Di mata Ignas Kleden (2000), agama dipahami sebagai ideologi. Ketika agama menjadi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan maka agama mengalami stagnasi, dan tidak berdialektika dengan umatnya. Hal inilah yang melahirkan keterputusan hubungan antara ulama”” dan umat, ketidakadilan status sosial tidak menjadi pijakan empiris ulama”” dalam berpikir dan bertindak. Di Indonesia sendiri, di masa lalu, sekarang dan di masa yang akan datang, banyak korelasi kuat untuk melahirkan dan menciptakan ketimpangan-ketimpangan sosial di masyarakat. Karena agama sudah membenarkannya bahkan mendistorsi kenyataan fenomena sosial yang ada. Islam memang senantiasa menjaga eksistensinya dalam gagasan besar kemanusiaan. Islam telah membangun manusia menuju kesejatiannya sebagai manusia yang sempurna (insanul kamil), habblum minallah maupun habblum minash. Namun realitanya, Islam sedang hadir di tengah masyarakat yang sedang bermuram durja, pragmatis, dan cenderung membendakan manusia (I-It). Sangat naif, apabila Islam yang hadir membawa cita-cita kesejahteraan dan pembebasan manusia, rahmatan lil alamin, tidak mampu memberikan penawaran solusi, mendiamkan penderitaan manusia, dan menjadi imajinasi semata. Bahkan Islam, termasuk Fundamental dan Liberal, sering dipahami sebagai akar friksi dan konflik tiada akhir. Andaikata Islam terus tenggelam dalam ketidakmampuan memikat umatnya untuk menjawab problematika kemanusiaan secara konkret, maka umat akan semakin jauh dari kesejatian ””beragama””. Redefinisi Islam adalah sebuah urgensi, agar Islam kembali pada tanggung jawab kemanusiaanya (responsible humanition) secara konkret. Islam harus keluar dari kajian-kajian tekstual yang hening dan bangkit membawa kedamaian di tengah-tengah lingkaran umat yang gaduh dan gelisah. Tetapi, Islam tidak boleh lagi membangun eksistensinya dengan meretas benang-benang simbolik komunalistik ataupun primordialistik. Islam adalah rahmatan lil alamin, milik alam dan umat manusia secara holistik. Islam membawa pancaran pencerahan yang membebaskan manusia tanpa membeda-bedakan fundamentalis ataukah liberalis. Cahaya kebenaran Islam secara hakiki, membawa pesan damai bahwa pluralitas dalam hidup beragama merupakan sunnatullah yang tidak terbantahkan. Sharing dan interaksi lintas sektoral-keyakinan umat dalam keindahan Islam merupakan jihad dalam kesejatian sebagai pengejawantahan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Ketidaksempurnaan adalah milik kita umat manusia, dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Wallahu alam bish-shawab.