Kamis, 03 Mei 2012

TENTANG MUHAMMAD

Kepada Umat Nabi Muhammad,Perhatian!Nabi Muhammad bukan blogger,bukan facebooker,maka mohon untuk tidak usah mencari-cari akun Facebook nya atau Blog pribadi beliau.Kalau mau PDKT cukup perbanyak baca Sholawat dan persedikit maksiat.xxixixixixi

Bro,kadang kita berfikir romantis tentang kehidupan Nabi Muhammad,juga tentang tata pemerintahan Negara-Kota yang konon beliau bangun dengan para sahabatnya.Orang membayangkan kehidupan di masa itu serba teratur aman dan tentram.Orang yang punya masalah seabrek dan serumit apapun tinggal sowan ke Nabi,then "avada kadavra",problem solved!.Menurut saya,menurut saya itu pemikiran yang katro.

Nabi Muhammad adalah analogi manusia yang penuh masalah sejak lahir hingga wafat.Kehidupan beliau adalah sebuah kisah "PEJUANGAN",bukan sebuah kisah "ONGKANGONGKANGKAKITINGGALTUNGGUBANTUANDARILANGIT".Beliau yatim sejak di kandungan,piatu saat masih balita,angngon wedhus saat ikut kakeknya,belajar berdagang saat ikut Paman,menyepi mencari-cari kebenaran sejati dan hakiki saat beristrikan Khadijah.Dimusuhi keluarga,Pak RT,Pak Camat dan para Sastrawan saat mengumumkan Kenabiannya,disakiti lahir batin,"diusir" dari Kota Kelahiran tercinta,berperang puluhan kali dalam kurun waktu 20 tahun masa akhir kehidupannya,di curhati umat setiap hari,baik oleh kalangan manusia,Jin,tumbuhan maupun Binatang

Gimana Bro,keren banget kan Kanjeng Nabi itu!!

ISLAM KASET DAN KEBISINGANNYA



SUARA bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. Rock ataupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai.

Kalaupun ada unsur keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. Sekian buah baladanya Trio Bimbo, atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja. Sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya.

Tetapi ternyata ada “persembahan” berirama, yang menampilkan suara lantang. Bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan: berjenis-jenis seruan untuk beribadat, dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau.

Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Quran dalam volume yang diatur setinggi mungkin. Barangkali saja agar lebih “terasa” akibatnya: kalau sudah tidak dapat terus tidur karena hiruk-pikuk itu, bukankah memang lebih baik bangun, mengambil air sembahyang dan langsung ke masjid?

Bacaan Al Quran, tarhim dan sederet pengumuman, muncul dari keinginan menginsafkan kaum musilimin agar berperilaku keagamaan lebih baik. Bukankah shalat subuh adalah kewajiban? Bukankah kalau dibiarkan tidur orang lalu meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban termasuk dosa? Bukankah membiarkan dosa berlangsung tanpa koreksi adalah dosa juga? Kalau memang suara lantang yang mengganggu tidur itu tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar ma’ruf), bukankah minimal ia berfungsi mencegah kesalahan(nahi munkar)?

Sepintas lalu memang dapat diterima argumentasi skolastik seperti itu. Ia bertolak dari beberapa dasar yang sudah diterima sebagai kebenaran: kewajiban bersembahyang, kewajiban menegur kesalahan dan menyerukan kebaikan. Kalau ada yang berkeberatan, tentu orang itu tidak mengerti kebenaran agama. Atau justru mungkin meragukan kebenaran Islam? Undang-undang negara tidak melarang. Perintah agama justru menjadi motifnya. Apa lagi yang harus dipersoalkan? Kebutuhan manusiawi bagaimanapun harus mengalah kepada kebenaran Ilahi. Padahal, mempersoalkan hal itu se benarnya juga menyangkut masalah agama sendiri.

Mengapa diganggu?

Nabi Muhammad mengatakan, kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yan tidur (hingga bangun). Selama ia masih tidur, seseorang tidak terbebani kewajiban apa pun. Allah sendiri telah menyedia kan “mekanisme” pengaturan bangun dan tidurnya manusia. dalam bentuk metabolisme badan kita sendiri.

Jadi tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang – keculai ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan nama ‘illat. Ada kiai yang menotok pintu tiap kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan keiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih di bawah tanggung jawabnya. Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada ‘illat: bukankah sang suami harus menjadi teladan anak-anak dan istrinya di lingkungan rumah tangganya sendiri?

Tetapi ‘illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, jangan sampai tersentak. Wanita yang haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Juga anak-anak yang belum akil baligh (atau tamyiz, sekitar umur tujuh delapan tahunan, menurut sebagian ahli fiqh mazhab Syafi’i).

Tidak bergunalah rasanya memperpanjang illustrasi seperti itu: akal sehat cukup sebagai landasan peninjauan kembali “kebijaksanaan” suara lantang di tengah malam — apalagi kalau didahului tarhim dan bacaan Al Quran yang berkepanjangan. Apalagi, kalau teknologi seruan bersuara lantang di alam buta itu hanya menggunakan kaset! Sedang pengurus masjidnya sendiri tenteram tidur di rumah.