Jumat, 27 April 2012

FUNDAMENTAL DAN LIBERAL DALAM ISLAM



Kesejatian manusia mencakup sebuah perspektif yang sangat sederhana, yaitu menyederhanakan segala sesuatu dan bermuara pada absolutisme. Segala bentuk fenomena, baik memiliki kompleksitas maupun tidak, lebih mudah memang apabila disederhanakan secara dikotomis. Perspektif dikotomi memudahkan manusia untuk memahami dan mengambil sikap menghadapi suatu fenomena. Dalam Islam, ada dikotomi yang meruang antara Islam Fundamental dan Islam Liberal. Dua kelompok ini berbeda satu sama lain dan acapkali menjumpai friksi yang bersifat konseptual maupun aplikatif. Bahkan friksi di antara keduanya, beberapa kali bersifat terbuka dan dapat dengan mudah dapat ditangkap oleh publik di luar mereka. Amien Rais dalam pengantar buku Islam Otentisitas Liberalisme karya Dr. David Sagiv, mengatakan bahwa friksi antara Islam Fundamental dan Islam Liberal tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di mayoritas negara berpenduduk muslim. Di antaranya adalah Mesir, al-ghazwul al-fikr (inovasi ideologi) yang datang ke dunia Islam menumpang kafilah kolonialisasi dan imperialisme Barat memicu respon dari para ulama Islam yang ingin mempertahankan identitas dan kelangsungan hidup Islam sebagai paradigma. Respon ini cenderung beragam. Mesir adalah cerminan ideal friksi di antara Islam Fundamental dan Islam Liberal. Alasannya adalah; pertama, Mesir memiliki Cairo yang merupakan center of excellence dunia Islam. Keberadaan Universitas Al-Azhar, universitas yang berdiri pertama kali pada masa Dinasti Fatimiyah, menjadikan Cairo sebagai kota yang sarat dengan ulama””-ulama”” genial. Kedua, intellectual welfare antara Barat dan Islam berlangsung sengit di media massa Mesir. Lalu, adakah friksi tersebut di Indonesia? Dalam Liberal Islam: A Sourcebook Charles Kurzman menyebut bahwa Islam Liberal di Indonesia ditandai dengan keberadaan adalah Jaringan Islam Liberal (JIL)/Ulil Abshar Abdalla serta Kelompok Paramadina/(alm) Nurcholis Madjid, Gus Dur, Azyumardi Azra, dan masih banyak lagi lainnya. Sedang Islam Fundamental/Radikal direprentasikan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)/Abu Bakar Baasyir, Irfan S. Awwas, Laskar Jihad/Jafar Umar Thalib, Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)/Hidayat Nur Wahid (M. Fajrul Munawir, 2005). Benarkah itu? Tentang valid ataukah tidak pendapat di atas, bukanlah sebuah fenomena yang harus dikaji dengan beragam rujukan dari masing-masing perspektif. Namun, ada baiknya kita lebih mengkaji latar belakang keberadaan Islam Fundamental dan Islam Liberal di Indonesia secara historis. Sejatinya, Islam fundamental tumbuh dan berkembang akibat perspektif ulama””-ulama”” mereka yang memandang Al-Quran dan Al-Hadist atau fiqih produk lama secara tekstual. Sebaliknya, Islam Liberal memandang urgensi penyegaran pemahaman secara kontekstual dan interteks terhadap Al-Quran dan Al-Hadist. Meskipun pengalaman adalah guru terbaik, namun guru dan lingkungan pendidikan juga memiliki andil besar dalam pembentukan individu secara holistic sebagai produk pembelajaran. Friksi antara fundamentalis dan liberalis dalam Islam dimulai dari perbedaan rujukan ilmu dan pengetahuan. Mayoritas tokoh-tokoh Islam Fundamental menikmati pendidikan Islam model Timur Tengah (Makkah, dsb). Hal ini berbeda dengan Islam Liberal yang mayoritas lulusan Barat (Chicago, Turki, dan Madinah), yang memiliki pola pengembangan proses berpikir cenderung rasionalis ala Barat. Paradigma berpikir tokoh-tokoh Islam Fundamental lebih dititikberatkan pada nalar bayani (afektif, menghafal materi-literatis) dan cenderung mengabaikan nalar burhani (kognitif). Bahkan beberapa ulama”” Islam Fundamental menyebut penggunaan akal (rasio) dalam memahami dan mengkaji Al-Quran dan Al-Hadist tergolong sebagai bid””ah karena berpotensi menggeser upaya ””mencari kebenaran”” menjadi ””mencari pembenaran””. Berbeda dengan kaum Islam Liberal, mereka cenderung mengedepankan nalar burhani dalam memahami dan mengkaji Al-Quran dan Al-Hadist karena memiliki beragam aspek pendekatan dan metodologi yang ilmiah. Satu hal yang patut disyukuri, yaitu kedua kelompok ini memiliki tokoh-tokoh intelektual yang memberikan warna dalam geliat pembangunan dan perpolitikan di Indonesia. Bahkan, beberapa di antaranya ””bertengger”” di posisi vital decision maker pemerintahan, ormas Islam, bahkan parpol-parpol yang mambawa bendera relijius sebagai ideologi dasar.

Pesantren Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang lahir, tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan Islam di Indonesia. Di pesantren, santri sebagai entitas siswa di dalamnya, mendapatkan pengajaran nilai-nilai agama secara holistik. Beraneka ragam ilmu agama diajarkan di pesantren dalam format pembelajaran wetonan, sorogan, hafalan, ataupun muzakarah. Ada sinyalemen kebakuan ilmu yang diajarkan pada sebuah pesantren dari waktu ke waktu. Secara paradoks, fenomena ini berhadapan dengan realita perkembangan peradaban dunia, ilmu pengetahuan dan tekonologi berkembang seiring-sejalan dengan pertambahan usia dunia. Pola pendidikan dalam pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama”” (NU) telah menjembatani kutub nilai-nilai Islam dengan perkembangan peradaban dunia. Hal ini sejalan dengan doktrin NU sendiri yang menganut paham Ahlussunah Wal Jama””ah sebagai paradigma jalan tengah antara aqli (rasionalis) dengan naqli (skripturalis). Rujukan dalam NU tidak hanya Al-Quran dan Al-Hadist namun juga rasionalitas dan realitas empirik. NU berkiblat pada pondasi pemikiran Abu Hasan Al-Asy””ari Abu Mansur Al-Maturidi, Imam Syafi””i, Imam Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi. Harapannya, lulusan pesantren di masa mendatang dapat menjadi avant garde pembimbing pencerahan umat Islam. Sejalan dengan fungsi dan perannya sebagai kaum intelektual, yang dapat mengiringi pencerahan sejati umat manusia.

Islam; Rahmatan Lil Alamin Ada kecenderungan, betapa Islam sebagai agama dalam perkembangan terakhir hadir sebagai institusi yang mandul. Islam memang masih sakral, tapi tidak mujarab menjadi jawaban problematika kemanusiaan. Islam secara temporer menjadi obat penenang kegelisahan umat, yang mana menempatkan ibadah sebagai identitas kulit semata. Fundamental ataupun Liberal seringkali hanya menjadi dikotomi nir konten yang cenderung membingungkan umat Islam sendiri. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Karl Marx ketika berkata “agama adalah candu masyarakat” (opium of society). Bagi Marx, agama membuat manusia hidup dalam absurditas imajinasi, semacam eskapisme dan menjadi jawaban tunggal ketika seorang individu ingin meraih keselamatan eskatalogis. Ketika agama ditarik ke lingkaran kekuasaan, agama menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan tertentu. Apabila kekuasaan memutuskan perang, maka agama wajib hukumnya untuk melegitimasi keputusan tersebut. Fungsi agama sebagai media kritisisme menjadi hilang di hadapan negara (kekuasaan). Agama tidak lagi menjadi media pembebasan, melainkan menjadi alat legitimasi negara untuk melakukan penindasan terhadap warganya. Di mata Ignas Kleden (2000), agama dipahami sebagai ideologi. Ketika agama menjadi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan maka agama mengalami stagnasi, dan tidak berdialektika dengan umatnya. Hal inilah yang melahirkan keterputusan hubungan antara ulama”” dan umat, ketidakadilan status sosial tidak menjadi pijakan empiris ulama”” dalam berpikir dan bertindak. Di Indonesia sendiri, di masa lalu, sekarang dan di masa yang akan datang, banyak korelasi kuat untuk melahirkan dan menciptakan ketimpangan-ketimpangan sosial di masyarakat. Karena agama sudah membenarkannya bahkan mendistorsi kenyataan fenomena sosial yang ada. Islam memang senantiasa menjaga eksistensinya dalam gagasan besar kemanusiaan. Islam telah membangun manusia menuju kesejatiannya sebagai manusia yang sempurna (insanul kamil), habblum minallah maupun habblum minash. Namun realitanya, Islam sedang hadir di tengah masyarakat yang sedang bermuram durja, pragmatis, dan cenderung membendakan manusia (I-It). Sangat naif, apabila Islam yang hadir membawa cita-cita kesejahteraan dan pembebasan manusia, rahmatan lil alamin, tidak mampu memberikan penawaran solusi, mendiamkan penderitaan manusia, dan menjadi imajinasi semata. Bahkan Islam, termasuk Fundamental dan Liberal, sering dipahami sebagai akar friksi dan konflik tiada akhir. Andaikata Islam terus tenggelam dalam ketidakmampuan memikat umatnya untuk menjawab problematika kemanusiaan secara konkret, maka umat akan semakin jauh dari kesejatian ””beragama””. Redefinisi Islam adalah sebuah urgensi, agar Islam kembali pada tanggung jawab kemanusiaanya (responsible humanition) secara konkret. Islam harus keluar dari kajian-kajian tekstual yang hening dan bangkit membawa kedamaian di tengah-tengah lingkaran umat yang gaduh dan gelisah. Tetapi, Islam tidak boleh lagi membangun eksistensinya dengan meretas benang-benang simbolik komunalistik ataupun primordialistik. Islam adalah rahmatan lil alamin, milik alam dan umat manusia secara holistik. Islam membawa pancaran pencerahan yang membebaskan manusia tanpa membeda-bedakan fundamentalis ataukah liberalis. Cahaya kebenaran Islam secara hakiki, membawa pesan damai bahwa pluralitas dalam hidup beragama merupakan sunnatullah yang tidak terbantahkan. Sharing dan interaksi lintas sektoral-keyakinan umat dalam keindahan Islam merupakan jihad dalam kesejatian sebagai pengejawantahan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Ketidaksempurnaan adalah milik kita umat manusia, dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Wallahu alam bish-shawab.